top of page
Writer's pictureKABINET SAHABAT BEM FK UNMUL

ALIANSI SEGITIGA KESEHATAN UNIVERSITAS MULAWARMAN: Kajian BPJS

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

BPJS adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dibentuk oleh pemerintah sebagai badan hukum publik. Tujuannya adalah untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dari berbagai kelas di Indonesia. BPJS ini juga menganut sistem subsidi silang sehingga dalam iurannya dibagi menjadi 3 kelas kategori yakni, kelas 1, 2 dan 3. Sejak BPJS ditetapkan, pelaksanaan serta proses pelayanannya banyak meniimbulkan protes serta komentar dari masyarakat. Selain itu, BPJS kesehatan telah mengalami defisit sejak awal dijalankan yaitu pada Tahun 2014 sebesar 1.9 Triliun. Hal ini mengakibatkan pemerintah membuat suatu kebijakkan yang mengatakan bahwa iuran BPJS akan mengalami kenaikkan. Kenaikkan BPJS ini mengakibatkan berbagai respon dari masyarakat karena dibalik banyaknya permasalahan yang belum tuntas pemerintah malah membuat kebijakkan yang terbilang merugikan masyarakat.


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial dengan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. BPJS khususnya BPJS kesehatan berperan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan.


Sebelum BPJS kesehatan beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014, terdapat banyak jenis asuransi kesehatan baik yang swasta, atau yang diatur oleh pemerintah daerah seperti Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) maupun kementerian kesehatan berupa Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Semua asuransi yang diatur oleh pemerintah ini terangkum dalam satu program yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah ada sejak masa pemerintahan presiden ke-6, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Program jaminan kesehatan ini kemudian dilanjutkan pada jaman pemerintahan presiden hingga saat ini yaitu Bapak Joko Widodo mulai dari program JKN-KIS dan sebagainya hingga terbentuknya BPJS sesuai dengan undang undang RI nomor 24 tahun 2011.


B. Tujuan

1. Menyampaikan informasi terkait kenaikkan BPJS

2. Mengetahui pengaruh dan dampak pelayanan BPJS khususnya di daerah Samarinda



PEMBAHASAN


A. Pembahasan

1. Kenaikkan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS)

Skema kenaikan BPJS kesehatan yang terus dilakukan dinilai hadir sebagai solusi dalam mengenai defisit yang semakin bertambah. Perubahan peraturan demi peraturan dalam menyusun iuran kepesertaan khususnya di tahun 2020 Januari-Maret 2020 berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019, April-Juni 2020 kembali ke Perpres 82 Tahun 2018, Juli-Desember 2020 berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 dimana per bulan Juli 2020 Iuran peserta mandiri bukan pekerja dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) menururt Perpres No.64/2020 yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo naik menjadi Rp42.000 untuk kelas III dengan pembayaran oleh peserta Rp. 25.500 dan Rp. 16.500 dibayarkan oleh pemerintah. Sementara iuran BPJS Kesehatan Kelas I serta Kelas II berubah menjadi Rp150.000 dan Rp100.000. dan pada Tahun 2021 berdasarkan Perpres Nomor 64 tahun 2020 dengan perbedaan pada iuran peserta kelas 3 dengan pembayaran iuran oleh peserta sebesar Rp. 35.00 dengan tambahan subsidi dari pemerintah Rp. 7.000. Peraturan diatas tentu akan menimbulkan kebingunan serta memberatkan masyarakat. Selain karena kenaikan BPJS kesehatan seolah tidak memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat di tengah pandemic covid-19, juga pemerintah dinilai secara sepihak dan tiba-tiba mengeluarkan peraturan tersebut.


Survei sosial demografi Badan Pusat Statistik (BPS) kepada 87.379 responden di Indonesia menunjukkan terjadi penurunan pendapatan relatif tinggi di masa pandemi Covid-19. Hanya 1-2 persen responden yang mengatakan pendapatan mereka selama pandemi meningkat. Menteri Keuangan Sri Mulyani telah dua kali membeberkan proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dalam kuartal berjalan dan beberapa kuartal ke depan, dan proyeksinya suram.Untuk kuartal II, yang tengah berjalan sampai akhir Juni 2020, pemerintah Indonesia memproyeksi ekonomi akan menyusut sampai minus 3,8%. Sementara pertumbuhan PDB di kuartal III, yang dimulai per Juli, diprediksi akan tumbuh di kisaran 1,4%, atau melemah sampai minus 1,6%. Bahkan berpotensi untuk terjadi resesi.


Jumlah kasus positif Covid-19 di Tanah Air terus bertambah dan Indonesia terancam memasuki gelombang kedua pandemic. Disamping itu pemerintah seakan menutup mata dengan pelonggaran-pelonggaran di wilayah dengan kasus tinggi, serta tidak menegaskan adanya protokol kesehatan ditempat-tempat yang berpotensi adanya keramaian. Hal ini tentu saja akan menambah angka kesakitan bahkan kematian ditambah dengan pengadaan fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan ekonomi serta pengetahuan masyarakat dominan masih kurang.


Pada tahun 2005, semua negara anggota WHO, termasuk Indonesia berkomitmen untuk mencapai Universal Health Coveage (UHC). Universal Health Coverage adalah program yang memastikan masyarakat memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa harus mengahadapi kesulitan finansial. Hal ini ditunjang dengan pelayanan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan mencatat, jumlah peserta diakhir tahun 2019 baru mencapai 83%. Sedangkan target kepesertaan JKN Universal Health Coverage atau cakupan kesehatan menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan mengakui adanya tren penurunan kelas sekitar 7,54 pada Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri. Jumlah peserta yang turun kelas ini selama periode Desember 2019 hingga Mei 2020. Hal ini terjadi sejak berita kenaikan BPJS kesehatan yang akan terjadi pada bulan Juli 2020.


Dengan adanya kenaikan BPJS Kesehatan dengan melihat tren turun kelas memungkinkan banyak masyarakat yang belum terdaftar BPJS memilih untuk tidak mengikuti jaminan kesehatan. Selain itu tidak sedikit masalah peserta BPJS mengenai pelayanan kesehatannya. Namun yang terjadi fasilitas kesehatan dan pelayanan BPJS hari ini masih dinilai kurang. Hal ini disebabkan fasilitas kesehatan yang tersedia tidak sebanding, pasalnya peserta hanya diperkenankan memilih satu faskes I atau satu faskes II. Hal ini tentu saja merugikan, sebab jika faskes I yang berada diwilayah peserta tersebut memiliki pelayanan yang kurang memuaskan maka peserta tidak dapat berobat ke faskes I lainnya, kecuali mengurus perpindahan. Selain itu, lokasi faskes yang jauh dari pasien juga menjadi kendala. Selain itu fasilitas rekanan yang belum maksimal karena rumah sakit tersebut tidak bekerja sama dengan BPJS maka pasien dapat ditolak untuk berobat. Ditambah lagi persoalan rujukan rumah sakit yang mkenganut sistem rujukan tertentu.


Yayasan Pencuci darah Indonesia telah melakukan gugatan untuk menolak peraturan kenaikan BPJS, meski sebelumnya permintaan penurunan disetujui, namun setelah itu presiden kembali mengeluarkan peraturan baru. Kenaikan iyuran BPJS pada awal tahun 2020 yang berhasil dibatalkan oleh MA kini kembali naik mulai awal Juli 2020. Masyarakat seolah dipermainkan dengan adanya peraturan yang seperti semena-mena dibuat. BPJS mencacat setiap tahunnya mengalami defisit anggaran, pada tahun 2019 defisit anggaran mencapai angka 13 triliun. BPJS memprediksi bahwa defisit hingga akhir tahun 2020 mencapai 3,9 triliun akan turun menjadi 185 miliar, karena ditetapkan nya kenaikan iyuran kembali.


Jika memang benar hal ini ditujukan untuk menutupi defisit anggaran, seharusnya masyarakat tidak dikorbankan. Melihat anggaran dana kesehatan sebesar 7,6 triliun, dan hingga sidang paripurna baru terealisasi sebesar 1.53%. Hal ini memperlihatkan lambatnya penanganan antisipasi kesehatan dan tidak massifnya pergerakan untuk menciptakan pelayanan kesehatan secara menyeluruh, apalagi di tengah pandemi covid19 saat ini. Kenaikan iuran tidak diimbangi dengan semakin baiknya pelayanan dan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Masalah defisit BPJS tidak akan selesai hanya dengan kenaikan iyuran. Meskipun pembayaran iyuran kelas III masih dibantu oleh pemerintah hingga saat ini, tapi apa mungkin pemerintah akan terus menerus menambal selisih dan hadir dengan solusi yang memberatkan masyarakat ditengah pandemi? Akankah BPJS kesehatan akan tetap dibutuhkan dan digunakan masyarakat dengan kebijakan yang telah ditetapkan? Apakah target Universal health Coverage akan terus menjadi angan?


Hal ini akan trus menjadi lingkaran setan bagi Indonesia jika sinergitas antar pemerintah, masyarakat maupun stekholeder yang ada terus berkutat tanpa pembenahan dengan melibatkan seluruh sektor yang ada.


2. Penerapan dan Permasalahan BPJS khususnya di Samarinda

Penerapan BPJS di samarinda masih mengalami beberapa kendala, tak hanya kenaikan iurannya saja yang menjadi masalah tetapi penerapan hingga pelayanannya di masyarakat masih menjadi catatan untuk diperbaiki. Ada beberapa masalah terkait penerapan BPJS di samarinda yakni :

a. Proses pelayanan yang sulit

b. Proses pendataan BPJS yang tidak merata

c. Iuran BPJS yang naik

d. Adanya hutang BPJS di beberapa rumah sakit di Samarinda


Dalam pelaksanaan BPJS di Samarinda banyak keluhan dari masyarakat terkait pelayanan yang cukup sulit dikarenakan saat melakukan pengobatan ternyata rumah sakit tersebut tidak terdapat BPJS sehingga harus melakukan perujukkan ke rumah sakit yang bekerja sama sehingga memperlambat proses pengobatan belum lagi harus menunggu dan melalui beberapa prosedur yang cukup panjang. Jika tidak ditindaklanjuti, maka hal ini dapat mengakibatkan terlambatnya proses pengobatan bahkan akan menyebabkan kondisi pasien akan semakin parah.


Selain itu, masyarakat juga mengeluhkan proses pendataan BPJS yang tidak merata sehingga tidak semua masyarakat kurang mampu mendapatkan dan terdaftar di BPJS. Hal ini akhirnya menyulitkan masyarakat kurang mampu dalam berobat dan memperlihatkan ketimpangan serta kurang meratanya informasi serta survei yang dilakukan pemerintah terkait BPJS. Permasalahan lain yakni banyaknya hutang BPJS di beberapa rumah sakit di samarinda, perkara ini diakibatkan karena adanya defisit yang melanda Badan Penyelenggara Kesehatan Nasional (BPJS). Sehingga terhitung pada Agustus 2019, BPJS Kantor Cabang Samarinda memiliki hutang sebesar Rp 184 M yang di klaim oleh 28 rumah sakit mitra di wilayah kalimantan timur.


Tantangan BPJS kesehatan saat ini adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia mendapat jaminan kesehatan mencapai cakupan kesehatan semesta atau UHC (Universal Health Coverage). Dimana target kepesertaan minimal yang harus dicapai setiap daerah adalah 98 persen.


Pada Info BPJS Kesehatan (2019), per tanggal 1 November 2018, jumlah peserta JKN-KIS telah mencapai 205.071.003 jiwa (78%) dari total penduduk Indonesia. Dikutip dalam berita antaranews.com, Andayani Budi Lestari mengungkapkan bahwa cakupan JKN-KIS sekarang telah mencapai 83 persen penduduk Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya penambahan peserta JKN-KIS yang cukup signifikan dan terus bertambah seiring berjalannya waktu.


Lalu bagaimana cakupan pelayanan BPJS Kesehatan di Samarinda? Dikutip dari Staf Komunikasi BPJS cabang Samarinda, Edy Junaedi, dari Bisnis.com, mengatakan bahwa, cakupan peserta BPJS Kesehatan cabang Samarinda telah mencapai 95,16 persen dari total penduduk sebanyak 2,2 juta orang. Hal ini menandakan bahwa kepesertaan BPJS Kesehatan Samarinda cukup baik yaitu 95,16 % dari target dari 98% dan membutuhkan manuver manuver ekstra untuk menggaet sekitar 5% sisanya.


Hal ini tentu membutuhkan bantuan dari semua kalangan baik pihak pemerintah, organisasi masyarakat maupun mahasiswa. Patut diapresiasi langkah digitalisasi dengan mengembangkan aplikasi yang dapat diakses menggunakan telepon pintar. Namun pengembangan aplikasi tidak cukup tanpa adanya sosialisasi mengenai cara pengoprasian aplikasi tersebut mengingat masih banyak masyarakat bahkan tidak mengetahui keberadaan aplikasi tersebut. Permasalahannya disini adalah tidak dari semua kalangan masyarakat memiliki privilege ini bahkan untuk mengakses internet. Oleh sebab itu jika memang memiliki target pesertanya sendiri dioptimalkan kembali aplikasi tersebut sehingga lebih user friendly. Selain itu mungkin bisa lebih dikembangkan lagi aplikasi ini sehingga bisa memangkas sistem administrasi dan menyelesaikan masalah administrasi dalam pelayanan rumah sakit.


Menanggapi masalah hutang yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan terhadap rumah sakit. Padahal menurut pasal 75 ayat 1 Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2018 menyatakan bahwa BPJS Kesehatan wajib membayar kapitasi pada FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) paling lambat tanggal 15 setiap bulan berjalan. Pada pasal yang sama yaitu pasal 75 ayat 2 dan ayat 3 menyatakan untuk klaim non kapitasi FKTP pada BPJS dilakukan secara periodik dan lengkap dimana verifikasi paling lambat 15 hari sejak berkas klaim dinyatakan lengkap. Dan pada pasal 75 ayat 5 dinyatakan bahwa BPJS Kesehatan wajib membayar denda kepada FKTP yaitu sebesar 1% dari jumlah yang dibayarkan untuk setiap 1 bulan keterlambatan. Pasal ini baru mengatur FKTP belum FKTRL-nya. Namun dari pasal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah nominal hutang yang disebutkan diatas sudah termasuk denda yang harus dibayarkan atau tidak? apakah mungkin ada alasan lain sebenarnya yang menyebabkan BPJS menunda membayar hingga ber"hutang" kepada rumah sakit tersebut? Alasan lain inilah yang perlu dilakukan kajian lebih lanjut kemudian dicari solusi dan diberikan pemahaman kepada masyarakat. Mungkin saja salah satu alasannya bisa disebabkan oleh kurangnya tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar iuran. Bahkan bisa jadi kurang tepat sasarannya kepesertaan BPJS sehingga masih banyak masyarakat kurang mampu yang masuk ke dalam kelas BPJS yang dia miliki sekarang.


Keterlambatan pencairan dana oleh BPJS tersebut tidak hanya berdampak pada staf dan para pekerja di bidang kesehatan namun pada akhirnya juga akan berdampak pada mutu pelayanan masyarakat. Selain mempengaruhi sumber penghasilan para staf baik medis, penunjang maupun non medis yang bekerja di FKTP atau FKTRL, juga mempengaruhi pemasukan tempat layanan kesehatan tersebut. Sebagai contoh di rumah sakit terdapat banyak alat kedokteran yang sangat diperlukan dalam diagnosis maupun tatalaksana yang membutuhkan perawatan dan pengecekan berkala serta update alat tersebut sesuai dengan perkembangan teknologi kedokteran dan hal ini tentunya juga membutuhkan dana yang tidak kecil jumlahnya. Apalagi jika status layanan kesehatan tersebut adalah badan layanan umum daerah (BLUD) dimana pengelolaan keuangan dipegang langsung oleh layanan kesehatan tersebut dan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.



KESIMPULAN

Oleh karena itu kami dari aliansi kesehatan universitas mulawarman menuntut pemerintah khususnya daerah Samarinda perlu melakukan pembenahan kembali dengan sistem yang berjalan terhadap peraturan yang telah ditetapkan terutama pada premi iuran yang ditetapkan terkhusu di tengah pandemi, meningkatkan pelayanan yang diterima peserta BPJS, pemerataan fasilitas dan sarana prasarana faskes terutama pada daerah-daerah terpencil. Selain itu evaluasi BPJS perlu mengikutsertakan suara masyarakat dan peserta agar mengetahui bagaimana kondisi nyata yang terjadi pada masyarakat ketika menggunakan layanan BPJS di instansi kesehatan di setiap daerah. Memberikan layanan pengaduan kepada masyarakat untuk melakukan pengaduan jika terjadi kecurangan atau ketimpangan terhadap pelaksanaan pelayanan sehingga tercipta keseimbangan dan peningkatan pelaksanaan BPJS kedepan. Selanjutnya perlu adanya sosialisasi secara masif kepada masyarakat khususnya peserta terhadap kebijakan yang akan dibentuk agar tercipta kesepahaman dan menghadirkan tim khusus yang dapat melakukan control, pengawasan dan dapat menindak tegas faskes yang melakukan kecurangan dalam pelayanan disetiap faskes terutama yang bekerjasama dengan BPJS agar pelaksanaan BPJS kesehatan dapat berjalan sesuai dengan standar operasional kesehatan yang berlandaskan asas keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.


Oleh karena itu, bisa lebih ditingkatkan lagi kerjasama dengan pihak dinas sosial untuk pendataan bagi masyarakat yang kurang mampu sehingga hal hal yang dapat merugikan BPJS seperti mereka yang kurang mampu membayar iuran BPJS bisa masuk kedalam peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Selain itu masyarakat mampu yaitu masyarakat menengah keatas yang baru mengurus BPJS nya atau BPJSnya tidak berlaku lagi akibat menunggak iuran dan mereka baru mengurus kembali ketika mereka sakit perlu untuk dilakukan langkah khusus seperti penerapan sanksi hukum atau mungkin ada langkah kreatif lain dari pemerintah seperti sanksi sosial berupa membersihkan sudut kota atau melakukan sosialisasi mengenai BPJS kepada masyarakat lain yang sedang berolahraga di gor atau pasar yang diawasi oleh petugas khusus.



DAFTAR PUSTAKA

1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011

Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018

Recent Posts

See All

Comentarios


Post: Blog2_Post
bottom of page