top of page
Writer's pictureKABINET SAHABAT BEM FK UNMUL

ALIANSI SEGITIGA KESEHATAN UNIVERSITAS MULAWARMAN: Penanganan Stunting di Samarinda, Sudah Cukupkah?

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Masalah gizi sebenarnya tidak hal baru yang terjadi di Kalimantan Timur, Indonesia dan berbagai belahan dunia. Di Indonesia sekitar 45-55% anak-anak di pedesaan pada rentang usia tersebut mengalami “stunting” dan sekitar 10% mengalami “wasting” dan jumlah tersebut tidak berubah selama usia prasekolah. Masalah gizi di Kalimantan Timur rentan dengan kemiskinan dan pola pengasuhan anak oleh keluarga termasuk asuh makan, kesehatan, kebersihan dan bermain. Hasil penelitian pada keluarga miskin di Kalimantan Timur menunjukkan persentase gizi buruk 5,8 persen, gizi kurang 10,8 persen, gizi baik 78,3 persen dan gizi lebih 2,5 persen (Saragih, 2009). Sungguh ironis memang di provinsi yang kaya ini masih harus bergelut dengan kemiskinan dan gizi kurang dan buruk diberbagai daerah. Indikasi ini menunjukkan indeks pembangunan manusia (IPM) masih menyisakan masalah yang rumit yang segera harus ditangani dalam pembangunan kedepan oleh pemerintah provinsi Kalimantan Timur.


B. Tujuan

1. Mengetahui ketersediaan vitamin dan suplemen di samarinda

2. Mengetahui perkembangan serta data stunting di samarinda



PEMBAHASAN

A. Permasalahan

Stunting yang merupakan permasalahan kesehatan yang sangat diperhatikan bahkan menjadi isu nasional di Indonesia membuat seluruh daerah di Indonesia bergegas menangani anak-anak yang menderita stunting dengan berbagai macam cara. Di Samarinda hal ini juga tak luput menjadi perhatian, mulai dari pelayanan di posyandu, pemberian vitamin A serta melakukan pengukuran rutin ditiap desanya terkait data-data yang diperlukan dalam penanganan stunting. Tetapi, pelaksanaan dalam penanganan stunting ini cukup terhambat dengan adanya pandemi covid 19 yang sedang dialami oleh seluruh daerah di Indonesia.


Hasil survei cepat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan UNICEF menunjukkan, 83,9 persen layanan kesehatan imunisasi di Indonesia terdampak akibat pandemi Covid-19. Hal ini juga terjadi di posyandu-posyandu yang ada di samarinda sehingga penanganan stunting juga terhambat dan menurunkan partisipasi masyarakat untuk mengimunisasi anak-anak mereka karena masih kurangnya peralatan serta fasilitas yang tersedia. Padahal dalam kondisi seperti ini proses imunisasi serta kegiatan posyandu harus tetap berjalan karena jika dihentikan akan menyebabkan potensi anak-anak tertular covid 19 semakin besar dan pemenuhan gizi serta imunisasi yang seharusnya didapatkan, yang artinya pemerintah harus lebih memperhatikan keperluan-keperluan yang harus disediakan dalam pelaksanaan imunisasi di posyandu dalam kondisi pandemi saat ini. Selain itu, ketertiban serta kepatuhan masyarakat ditengah pandemi ini juga menjadi faktor penyebab beberapa posyandu ditutup karena adanya masyarakat yang terkonfirmasi positif tetapi tetap datang dan melakukan pelayanan di posyandu/puskesmas.


B. Perkembangan Stunting di Kalimantan Timur

Dinas Kesehatan Kalimantan Timur menggelar Pertemuan Analisis dan Pemanfaatan Data Surveilans Gizi Kabupaten / Kota dan Puskesmas se-Kaltim pada Senin, 9 Maret 2020 yang dimaksudkan untuk mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak secara berjenjang. Dalam pertemuan itu, pembahasan dilakukan berdasarkan data by address yang telah di-entry di Kaltim hingga 2 Maret 2020 sebanyak 51,55 persen dari keseluruhan (147.169 dari sasaran 285.895). Adapun dari 147.169 sasaran balita yang di-entry, 54.457 telah dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan, dan umur dengan hasil 11.610 atau 22,32 persen stunting.


Umumnya pada kasus stunting penatalaksanaan yang perlu dilakukan adalah perbaikan gizi, hal tersebut bisa dilakukan dengan beberapa cara sebagaimana berikut:


1. Pemberian ASI eksklusif

2. Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI)

3. Suplementasi Vitamin A

4. Suplementasi Zinc


C. Stunting Indikator Keadilan dan Kesejahteraan Bangsa

Pemuda adalah generasi penerus bangsa, sebab Indikator subjektif dalam menentukan keadilan dan kesejahteraan masyarakat adalah angka stunting disebuah negara. Permasalahan stunting yang hadir ditengah permasalahan kesehatan gizi lain yang belum tuntas memberikan gambaran ancaman besar generasi penerus bangsa. Stunting tidak hanya berpengaruh pada permasalahan fisik individu, kesecerdasan intelektual, mental maupun psikologi namun juga berdampak pada perekonomian dan keberlangsungan sebuah negara.


Salah satu permasalahan gizi yang dihadapi di dunia adalah anak pendek (stunting), khususnya di negara-negara miskin dan berkembang. Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan dengan meningkatkan resiko kesakitan dan kematian, serta perkembangan otak yang kurang optimal. Kejadian stunting merupakan dampak dari asupan gizi yang kurang, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Stunting merupakan masalah kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama, sehingga anak menjadi pendek untuk seusianya. Stunting terjadi mulai janin dalam kandungan hingga anak berusia 2 tahun atau 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Kondisi stunting baru terlihat ketika anak berusia 2 tahun. Seseorang dikatakan stunting melalui pengukuran dengan menentukan z-score (PB/U)/(TB/U), apabila nilai z-score di bawah -2 SD (standar devisiasi) maka dikatakan stunting.


Indonesia mempunyai masalah gizi yang cukup berat mulai dari gizi kurang hingga stunting. Stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Bahkan angka stunting di Indonesia pada tahun 2019 berada di urutan ke-4 dunia yaitu sebesar 27,7%. Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek pada balita menurut riskesdas tahun 2007 sebesar 36,8% dan pada tahun 2013 mencapai 37,2%. Pada tahun 2018 menurut prevalensinya sebesar 30,8%. Dan di tahun 2019 menurut hasil riset studi gizi balita di Indonesia prevalensi stunting menjadi 27,7% yang artinya terdapat 6,3 juta balita dari 23 juta balita di Indonesia mengalami stunting. Dalam angka tahun 2018 dan 2019 kasus angka stunting memang terlihat menurun, tetapi jumlah yang dapat dikatakan masih jauh dari nilai standar WHO yang seharusnya angka stunting dibawah 20%.


Kalimantan Timur merupakan satu satunya Provinsi yang mengalami kenaikan jumlah kasus stunting menurut Riskesdas tahun 2018. Menurut laporan Dinas Kesehatan Kalimantan Timur November 2019, terdapat 17.432 balita mengalami stunting dan tertinggi terjadi di Kukar sebesar 3.397 balita, lalu di Kabupaten Paser sebesar 2.751 balita stunting. Terjadinya peningkatan kasus stunting di Kalimantan Timur menjadi masalah dan dapat menurunkan tingkat produktivitas serta kemungkinan besar gangguan perkembangan otak juga meningkat di wilayah Kalimantan Timur. Hal ini membuktikan bahwa program pemerintah tidak efektif atau tidak terjalankan secara merata di Kaltim sehingga terjadi peningkatan kasus stunting.


Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi yang di alami ibu hamil maupun balita saja. Faktor-faktor lain seperti pola asuh yang kurang baik, termasuk pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum masa kehamilan atau setelah melahirkan, anak tidak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan awal kehidupannya. Permasalahan terbatasnya layanan kesehatan seperti pelayanan kesehatan ibu selama kehamilan, anak tidak mendapat imunisasi lengkap, kurangnya akses sanitasi dan air bersih, dan kurangnya akses makanan bergizi dalam rumah tangga karena faktor ekonomi.


United Natios International Children’s Fund (UNICEF) melaporkan sekitar 2 juta anak menderita gizi buruk dan lebih dari 7 juta anak di bawah lima tahun mengalami stunting di Indonesia. UNICEF juga menyebutkan pandemic covid-19 menyebabkan peningkatan jumlah anak-anak mengalami masalah gizi di Indonesia. Peningkatan jumlah anak kekurangan gizi di Indonesia terjadi karena banyak keluarga yang kehilangan pendapatan pada masa pandemic ini, sehingga tidak mampu membeli makanan sehat dan bergizi. Hal ini dapat menjadi dasar terjadinya kekurangan gizi bukan hanya pada anak-anak, tetapi wanita usia subur maupun wanita hamil, yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kasus stunting di Indonesia. UNICEF memperkirakan jumlah anak yang mengalami gizi akut di bawah lima tahun bisa meningkat 15% secara global pada masa pandemic covid-19.


Bagaimana bisa permasalahan gizi makin meningkat pada masa pandemic covid-19 saat ini? Diketahui bahwa penyebab terjadinya stunting banyak faktor multi dimensi yang berpengaruh, bagaimanapun juga hanya Kalimantan Timur yang mengalami peningkatan prevalensi stunting menurut Riskesdas tahun 2018. Tinggi nya angka prevalensi stunting di Kaltim pasti dipicu oleh faktor-faktor yang menyebabkan stunting semakin tinggi. Hasil BKP Kementan RI tahun 2018 menunjukkan rata-rata stunting di 10 Kab/Kota di Kaltim yaitu sebesar 31,06%. Prevalensi stunting di Kota samarinda sebesar 28,8%, yang mana merupakan prevalensi terkecil dari 10 Kab/Kota di Kaltim. Prevalensi stunting seharusnya turun jika ketahanan pangan di suatu wilayah tersebut termasuk kategori tahan pangan.


Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pasokan pangan di suatu wilayah atau negara dengan semua masyarakat perseorangan dapat hidup sehat, dan produktif berkelanjutan. Dari peta indeks ketahanan pangan (IKP) dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian wilayah Kalimantan Timur masuk ke dalam prioritas 5 dan 6 yang merupakan daerah dengan tahan pangan. Kaltim sudah masuk ke dalam kategori tahan pangan, tetapi kasus stunting masih tinggi, pasti ada pola konsumsi masyarakat yang salah. Pemenuhan kebutuhan seperti sumber kalori, protein, vitamin, zat gizi mikro/mineral pasti tidak terpenuhi. Faktor-faktor seperti ekonomi, pendidikan, pengetahuan ibu juga berpengaruh besar terhadap kejadian stunting. Faktor pendidikan juga berpengaruh karena masyarakat dengan pendidikan rendah pasti tidak terlalu memikirkan akan kecukupan gizi untuk konsumsi, mereka pasti berpikir bahwa makanan yang membuat kenyang atau makan dengan nasi yang banyak sudah dapat memenuhi kecukupan gizi.


Kecukupan gizi juga erat kaitannya dengan faktor ekonomi keluarga, faktor ekonomi berpengaruh besar terhadap apa yang dikonsumsi, karena jika ketersediaan pangan itu ada tetapi masyarakat tidak mampu membeli bahan makanan sehingga kecukupan gizi keluarga tidak terpenuhi. Dimasa pandemic covid-19 masalah ekonomi menjadi ancaman bagi setiap keluarga di Indonesia khususnya masyarakat menengah ke bawah. Bagaimana tidak dengan sistem yang diterapkan saat ini (Work From Home) banyak orang yang berpenghasilan harian tidak bisa bekerja, banyak karyawan di rumahkan (PHK) karena ekonomi yang tidak stabil. Semakin rendah ekonomi seseorang, daya beli terhadap makanan yang beragam dan memenuhi kecukupan gizi juga semakin rendah. Subsidi bahan pangan yang dilakukan pemerintah tidak sepenuhnya tuntas dan apakah tepat sasaran yang masih menjadi tanda tanya.


Indonesia merupakan negara agraris yang beriklim tropis, yang sangat membantu dalam potensi agrarian dan komoditas pangan. Kalimantan Timur adalah daerah tahan pangan yang seharusnya sudah memenuhi tiga aspek yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Tiga aspek tersebut dapat berdampak pada wilayah rawan pangan, karena ketersediaan pangan yang kurang, sehingga kurangnya asupan gizi dapat terjadi dan kasus stunting meningkat. Tetapi bagaimana dengan daerah tahan pangan seperti Kaltim yang angka prevalensi menurut Riskesdas tahun 2018 merupakan satu-satunya provinsi yang mengalami kenaikan kasus stunting?


Melihat angka prevalensi stunting dengan program pemerintah pada masa pandemic ini apakah benar-benar dapat menurunkan kasus stunting di Indonesia. Program pemerintah seperti subsidi pangan dan bantuan tunai diberikan kepada masyarakat yang terdampak dari segi ekonomi. Optimalisasi gizi dan kesehatan dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) juga menjadi hal penting dalam mencegah kejadian stunting. Perbaikan pola asuh dan pemenuhan gizi masyarakat, pemerataan ekonomi juga dilakukan sehingga daya beli masyarakat meningkat terhadap pangan yang beragam. Pendidikan orang tua juga harus didorong untuk merubah pola pikir dan tindakan mereka melalui edukasi.


Posyandu dapat mencegah anak terkena berbagai faktor risiko stunting melalui program-program yang diselenggarakan. Beberapa program posyandu sebagai upaya pencegahan stunting adalah POPM (Pemberian Obat Pencegahan Pasal) cacingan, penanggulangan diare, sanitasi dasar serta peningkatan gizi. Posyandu memang benar menjadi ujung tombak kesehatan namun dimasa pandemio hal ini menjadi kesulitan dalam mengakses serta menjamin keamanan dalam proses pelaksanaannya.


Pemerintah telah mencanangkan program intervensi stunting baik intervensi gizi spesifik dan sensitif. Upaya pengentasan stunting yang terus dilakukan oleh permerintah telah dilakukan dari tahun 2014 berhasil mengalami penurunan diperiode sebelumnya dan pemerintah melakukan berbagai upaya hingga menjadikannya isu prioritas. Dimasa pandemi hal ini perlu dilakukan inovasi sehingga upaya pengentasan stunting dapat tetap berjalan maksimal. Selain itu perlu adanya kolaborasi aktif dalam pelaksnaan program mengingat permasalahan stunting melibatkan tidak hanya satu sektor namun juga peran penting dari sektor-sektor lainnya. Serta dalam pelaksanaannya perlu lebih disiplin, terarah dan tepat sasaran.


Tak hanya lingkup pemerintahan, lingkungan keluarga memiliki peran sangat penting peran dalam pencegahan. Keluarga mampu menjadi ruang edukasi sekaligus pengawasan dalam menjalankan program-program pencegahan, mulai dari pola hidup sehat dan pemberian asupan makanan yang dibutuhkan. Sehingga hal ini dapat dijadikan solusi intervensi preventif dari lingkungan sekitar. Selain itu intervensi bagi diri sebagai bentuk pencegahan terhadap stunting perlu dilakuakn sebagai upaya membangun generasi terbaik. Terutama pada ibu hamil, Wanita Usia Subur (WUS) dan remaja. Sehingga adaptasi sejak dini perlu dilakukan sebagai bentuk antisipasi permasalahan stunting.



KESIMPULAN

A. Solusi

Dalam pelaksanaan kegiatan imunisasi di posyandu pemerintah bisa melaksanakan dengan mengikuti arahan dan ketetapan yang sudah dibuat oleh World Health Organization (WHO)

.

B. Saran dan Kesimpulan

Kerjasama lintas sektor dan pentingnya komunikasi serta koordinasi menjadi kunci keberhasilan dijalankannya program dan aspek dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Jangan sampai program yang sudah dijalankan tidak tepat sasaran. Karena permasalahan stunting tidak hanya berbicara tubuh pendek, tetapi yang dikhawatirkan adalah dampak jangka panjang stunting terhadap penurunan kemampuan kognitif otak, sistem imun lemah dan mudah terserang penyakit. Sehingga jika semakin tinggi kasus stunting maka sumber daya manusia akan berkurag dalam hal produktifitas di suatu wilayah.




DAFTAR PUSTAKA

Roberts, J. L., & Stein, A. D. (2017). The impact of nutritional interventions beyond the first 2 years of life on linear growth: a systematic review and meta-analysis. Advances in Nutrition, 8(2), 323-336.

Sjarif, D. R., Lestari, E. D., Mexitalia, M., & Nasar, S. S. (2011). Buku ajar nutrisi pediatrik dan penyakit metabolik. Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Unit Kerja Koordinasi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2018). Pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI). IDAI.

United Nation Children’s Fund (UNICEF). (2017). Infant and young child feeding. New York.

Wirahmadi A. (2017). Perlukah suplementasi vitamin dan mineral pada bayi dan anak. Diakses dari: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/pengasuhan-anak/perlukah-suplementasi-vitamin-dan-mineral-pada-bayi-dan-anak

Recent Posts

See All

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page