top of page
Writer's pictureKABINET SAHABAT BEM FK UNMUL

Kesehatan Mental Selama Pandemi Covid-19



A. Definisi Kesehatan Mental

Kesehatan mental merupakan salah satu komponen yang penting dalam kesehatan seseorang. World Health Organization menyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan sehat jika ia memenuhi 3 aspek kesehatan yakni fisik, mental dan sosial. Dari pernyataan diatas dapat dipetik bahwa seseorang tidak dapat dikatakan sehat jika ia tidak sehat secara mental. Kesehatan mental adalah dasar dari kemampuan seseorang untuk berpikir, berinteraksi, menjalani dan menikmati kehidupan.


Menurut WHO (2005), Kesehatan Mental adalah suatu kondisi ‘sejahtera’ dimana suatu individu dapat menyadari kemampuan diri sendiri, dapat melakukan coping terhadap tekanan hidup normal yang ia hadapi, bekerja secara produktif, dan mampu berkontribusi dalam kehidupan di komunitasnya.


Menurut Kementerian Kesehatan (2018), terdapat 3 jenis masalah kesehatan mental yang paling sering umum terjadi, yaitu :


1. Stress. Stress adalah kondisi ketika seseorang mengalami tekanan yang sangat berat, baik secara emosi maupun mental. Seseorang yang stress biasanya nampak gelisah, cemas, dan mudah tersinggung. Stress juga dapat mengganggu konsentrasi, mengurangi motivasi, dan pada beberapa kasus tertentu, dapat memicu depresi.


2. Gangguan Kecemasan. Gangguan kecemasan adalah kondisi psikologis ketika seseorang mengalami rasa cemas berlebihan secara konstan dan sulit dikendalikan, sehingga berdampak buruk bagi kehidupan sehari-harinya. Pada penderita gangguan kecemasan, rasa cemas kerap timbul pada tiap situasi, bahkan pada kondisi diam sekalipun. Selain gelisah dan rasa takut yang berlebihan, gejala psikologis lain yang bsia timbul pada penderita gangguan kecemasan adalah berkurangnya rasa percaya diri, menjadi mudah marah, stress, sulit berkonsentrasi, dan menjadi penyendiri.


3. Depresi. Depresi merupakan gangguan suasana hati yang menyebabkan penderitanya terus-menerus merasa sedih. Perasaan sedih pada kondisi depresi bisa berlangsung dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. Selain memengaruhi perasaan atau emosi, depresi juga dapat menyebabkan masalah fisik, mengubah cara berfikir, serta mengubah cara berperilaku penderitanya. Tak jarang, penderita depresi sulit menjalankan aktivitas sehari-hari secara normal. Bahkan pada kasus tertentu, penderita depresi dapat menyakiti diri sendiri, hingga bunuh diri.


B. Faktor Risiko Gangguan Kesehatan Mental di Tengah Pandemi Covid

Setiap orang memiliki risiko mengembangkan gangguan kesehatan mental, tidak peduli usia, jenis kelamin, pendapatan, atau etnis. Di AS dan sebagian besar negara maju, gangguan mental adalah salah satu penyebab utama kecacatan. Keadaan sosial dan keuangan, faktor biologis, dan pilihan gaya hidup semuanya dapat membentuk kesehatan mental seseorang. Sebagian besar orang dengan gangguan kesehatan mental memiliki lebih dari satu kondisi pada suatu waktu. Penting untuk dicatat bahwa kesehatan mental yang baik tergantung pada keseimbangan faktor-faktor yang rumit dan bahwa beberapa elemen kehidupan dan dunia pada umumnya dapat bekerja sama untuk berkontribusi terhadap gangguan. Faktor-faktor berikut dapat berkontribusi terhadap gangguan kesehatan mental.


a) Tekanan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan

Memiliki sarana keuangan yang terbatas atau milik kelompok etnis yang terpinggirkan atau dianiaya dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental. Sebuah studi tahun 2015 terhadap 903 keluarga di Iran mengidentifikasi beberapa penyebab sosial ekonomi dari kondisi kesehatan mental, termasuk kemiskinan dan hidup di pinggiran kota besar. Para peneliti juga menjelaskan perbedaan dalam ketersediaan dan kualitas perawatan kesehatan mental untuk kelompok tertentu dalam hal faktor yang dapat dimodifikasi, yang dapat berubah dari waktu ke waktu, dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi, yang bersifat permanen.


Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi untuk gangguan kesehatan mental meliputi:

· Kondisi sosial ekonomi, seperti apakah pekerjaan tersedia di daerah setempat.

· Pendudukan

· Tingkat keterlibatan sosial seseorang

· Pendidikan

· Kualitas perumahan


Faktor yang tidak dapat dimodifikasi termasuk:

· Jenis kelamin

· Usia

· Etnisitas


Studi ini mencantumkan gender sebagai faktor yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Para peneliti menemukan bahwa menjadi wanita meningkatkan risiko status kesehatan mental yang rendah sebesar 3,96 kali. Orang dengan "status ekonomi lemah" juga mendapat skor tertinggi untuk kondisi kesehatan mental dalam penelitian ini.


b) Faktor biologis

NIMH menunjukkan bahwa riwayat keluarga genetik dapat meningkatkan kemungkinan kondisi kesehatan mental, karena gen dan varian gen tertentu menempatkan seseorang pada risiko yang lebih tinggi. Namun, banyak faktor lain yang berkontribusi terhadap perkembangan gangguan ini. Memiliki gen dengan hubungan dengan gangguan kesehatan mental, seperti depresi atau skizofrenia, tidak menjamin bahwa suatu kondisi akan berkembang. Demikian juga, orang tanpa gen terkait atau riwayat keluarga dengan penyakit mental masih dapat memiliki masalah kesehatan mental. Kondisi kesehatan mental seperti stres, depresi, dan kecemasan dapat berkembang karena masalah kesehatan fisik yang mendasarinya yang mengubah hidup, seperti kanker, diabetes, dan nyeri kronis


Salah satu penyebab menurunnya kesehatan mental yang terjadi saat ini ialah berupa infodemik. Di luar penyakit COVID-19, muncul pandemi baru berupa penyebaran berita-berita palsu seputar wabah korona. Informasi terkait pandemi atau infodemik tersebut tidak kalah berbahaya karena membuat publik bingung dan cemas.


“Kami tidak hanya memerangi epidemi, kami sedang berjuang melawan infodemik”


dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakannya dalam sambutan Konferensi Keamanan Dunia di Munich, Jerman pada 15 Februari 2020. Hal tersebut disampaikan mengingat berita palsu menyebar lebih cepat dan lebih mudah daripada virus korona.


“Itulah sebabnya kami juga bekerja dengan perusahaan pencarian dan media seperti Facebook, Google, Pinterest, Tencent, Twitter, TikTok, YouTube, dan lainnya untuk melawan penyebaran desas-desus dan informasi yang salah” ungkap Tedros.


Lebih lanjut, Tedros meminta semua pemerintah, perusahaan media, dan organisasi berita untuk turut bekerja bersama dengan WHO memberitakan bahaya wabah korona tanpa menimbulkan histeria.


Beberapa berita palsu yang beredar antara lain, mitos mandi air panas, penularan melalui gigitan nyamuk, pengering tangan, dan makan bawang putih. Laman “Newsweek” mencatat mitos-mitos seputar COVID-19 dan upaya WHO menunjukkan fakta yang sebenarnya.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di dunia. Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat setidaknya ada 384 informasi hoaks yang beredar melalui media sosial, aplikasi percakapan Whatsapp, dan tautan pada situs internet. Rupa-rupa hoaks itu antara lain penyebab korona, penularan, penanganan, lockdown, obat, dan dampak COVID-19.


Kedaruratan memang selalu membuat tertekan, tetapi faktor penyebab tekanan khusus wabah COVID-19 yang sedang terjadi dapat mempengaruhi masyarakat, seperti:


· Risiko terinfeksi dan menginfeksi orang lain, terutama jika cara penularan COVID-19 belum 100% diketahui

· Gejala umum seperti masalah kesehatan lain (mis., demam) bisa disalahartikan sebagai COVID-19 dan menyebabkan rasa takut terinfeksi

· Pengasuh dapat makin khawatir akan anak-anaknya yang mereka tinggal di rumah sendiri (karena sekolah tutup) tanpa asuhan dan dukungan yang tepat.

Risiko penurunan kesehatan fisik dan jiwa pada kelompok-kelompok, yang rentan seperti orang berusia lanjut (Intervensi 1) dan penyandang disabilitas (Intervensi 2), jika pengasuh dikarantina dan tidak ada layanan dan dukungan lain.

Dari semua stressor (ekonomi, perubahan gaya hidup dan kemampuan adaptasi) menimbulkan masalah baru yang mungkin kurang disadari yaitu timbul beberapa gejala mental ringan hingga berat. Berdasarkan sebuah tulisan dari Nicholas C. Jacobson dan kawan kawan dengan judul “Flattening the Mental Health Curve: COVID-19 Stay-at-Home Orders Result in Alterations in Mental Health Search Behavior in the United States” dimana dilakukan penelitian terhadap trend pencarian pada search engine Google mengenai berbagai gejala sebelum dan sesudah diberlakukannya kebijakan “stay at home” di amerika serikat selama seminggu mulai dari 16 maret 2020. Dinyatakan bahwa terdapat perubahan pola kata kunci pencarian seperti perasaan takut, kecemasan, insomnia, dll sesuai dengan tabel dibawah.




Gambar 1. Trend Pencarian Gejala Mental di Google sebelum dan sesudah diberlakukannya kebijakan “stay at home” di US


Dari hal ini dapat disimpulkan terdapat beberapa lonjakan pencarian beberapa gejala mental setelah ada pemberlakuan kebijakan stay at home. Namun untuk alasan mengapa mereka mencari ini yang perlu untuk diteliti kembali dikarenakan apakah mereka mencari hanya sekedar ingin tahu atau adakah alasan dibalik itu mungkin untuk membantu mendiagnosa diri sendiri atau alasan lainnya.


C. Kondisi Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia ditengah Pandemi COVID-19

Kesiapan mental masyarakat Indonesia dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini dapat dinilai belum sepenuhnya siap. Hal ini dapat dilihat dari beberapa peristiwa yang dapat kita temukan ditengah masyarakat pada masa pandemi COVID-19 ini, seperti panic buying, tidak mematuhi peraturan PSBB atau Social Distancing, menyebarkan berita palsu atau berita yang tidak memiliki sumber yang kuat dan hanya sebatas spekulasi atau teori, bahkan hingga ketidakjujuran terhadap tenaga medis saat pemeriksaan.


Kondisi ini terjadi akibat kurangnya pengetahuan dan kemampuan memilah serta menelaah informasi oleh masyarakat, sehingga menimbulkan berbagai peristiwa dan masalah seperti diatas. Akibat kurangnya pengetahuan dan kemampuan memilah serta menelaah informasi, masyarakat dihadapkan oleh banyak sekali berita atau opini tak berdasar mengenai COVID-19. Tentu, bagi masyarakat yang sudah paham mengenai COVID-19 akan tidak dengan mudah percaya dan terprovokasi oleh berita tersebut. Namun, bagaimana dengan masyarakat dengan tingkat pengetahuan rendah mengenai COVID-19? Hal ini meningkatkan kepanikan tersendiri ditengah golongan masyarakat tersebut. Akibatnya, banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang dapat dikatakan merugikan masyarakat sesamanya, seperti panic buying, dan yang paling parah, ketidakjujuran terhadap tenaga medis.


Pada kasus panic buying, memberikan dampak tersendiri bagi masyarakat. Dalam sisi ekonomi, maraknya pembelian suatu barang dalam jumlah besar akan mempengaruhi sisi permintaan. Sebagaimana hukum permintaan dan penawaran berlaku, dimana: jika terjadi permintaan tinggi sehingga jumlah barang yang tersedia sedikit, maka harga barang akan semakin mahal. Hal ini akan menyulitkan masyarakat lainnya untuk memperoleh barang tersebut, terlebih bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah. Selain itu, pembelian barang, dalam kasus ini alat perlindungan diri (APD) yang menyebabkan ketersediaan APD di pasaran menipis, dapat menyulitkan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas untuk menyediakan APD bagi staff garda terdepan. Ini malah meningkatkan risiko terjadinya penularan COVID-19 terhadap tenaga kesehatan dan pasien yang dirawat dirumah sakit atau puskesmas.


Hal lain yang menandakan bahwa Masyarakat Indonesia belum siap secara mental dalam menghadapi COVID-19 adalah ketidakjujuran dan ketidakterbukaan masyarakat terhadap tenaga kesehatan. Banyak masyarakat yang sangat takut dan memilih untuk bersikap tertutup dalam pemeriksaan COVID-19 dengan berbagai alasan, namun alasan utama biasanya adalah takut dikarantina dan tidak mau berpisah dengan keluarga. Misalnya, 53 tenaga medis di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta harus melakukan tes swab dan isolasi mandiri akibat ketidakjujuran dari pasien dan keluarga pasien akibat ketidakjujuran dari seorang pasien mengenai riwayat kontak dengan pasien positif COVID-19 lainnya. Walaupun pertanggal 2 Mei 2020, telah dikatakan hasil tes swab dari 53 tenaga medis tersebut negatif, namun tentu hal ini tetaplah merugikan karena dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental, baik dari tenaga medis yang bersangkutan, atau bahkan pasien dan tenaga medis lainnya. Selain itu, dengan diisolasinya beberapa tenaga medis tersebut menyebabkan berkurangnya tenaga medis yang dapat digunakan dalam membantu melawan COVID-19 di garda terdepan. Meningkatnya kasus baru dan berkurangnya tenaga medis pada garda terdepan tentu akan menimbulkan masalah baru bagi bangsa kita. Oleh karena itu, kejujuran dan keterbukaan pasien sangat dibutuhkan dalam perlawanan kita terhadap COVID-19 ini.


Menurut data dari Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018, jumlah gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia yang berumur lebih dari sama dengan 15 tahun, menempati angka 9,8 persen dari total penduduk di Indonesia. Hal ini dapat dikatakan terjadi peningkatan dari jumlah pada tahun-tahun sebelumnya. Pada masa pandemi ini, belum ada data mengenai gambaran kesehatan mental masyarakat Indonesia. Akan tetapi ada kemungkinan terjadinya peningkatan kasus gangguan pada kesehatan mental masyarakat Indonesia, karena banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Menurut penelitian Moh. Abdul Hakim, Universitas Sebelas Maret-Surakarta, ia mendapatkan bahwa 4 faktor utama yang menyebabkan seseorang tertekan di masa pandemi ini yaitu :


1. Faktor infeksi

2. Faktor Kekurangan kebutuhan dasar

3. Faktor penyesuaian perilaku

4. Faktor pembatasan sosial


Tentunya ke-4 faktor ini yang mampu menjadi stressor dan menyebabkan seseorang mampu mengalami gangguan kesehatan mental khususnya masyarakat Indonesia.

Kini, di tengah pandemi COVID-19, World Health Organization (WHO, 2020) Menyatakan, wajar jika orang merasa tertekan dan khawatir dalam wabah apa pun. Respons umum dari orang-orang yang terdampak (baik secara langsung atau tidak) antara lain:


· Takut jatuh sakit atau meninggal

· Tidak mau datang ke fasilitas layanan kesehatan karena takut tertular saat dirawat

· Takut kehilangan mata pencaharian, tidak dapat bekerja selama isolasi, dan dikeluarkan dari pekerjaan

· Takut diasingkan masyarakat/dikarantina karena dikait-kaitkan dengan penyakit (seperti rasisme terhadap orang yang berasal dari, atau dianggap berasal dari, tempat-tempat terdampak)

· Merasa tidak berdaya untuk melindungi orang-orang terkasih dan takut kehilangan orang-orang terkasih karena virus yang menyebar

· Takut terpisah dari orang-orang terkasih dan pengasuh karena aturan karantina

· Menolak untuk mengurusi anak kecil yang sendirian atau terpisah, penyandang disabilitas atau orang berusia lanjut karena takut infeksi, karena orang tuanya atau pengasuhnya dikarantina

· Merasa tidak berdaya, bosan, kesepian dan depresi selagi diisolasi

· Takut mengalami pengalaman wabah sebelumnya

D. Cara Menjaga Kesehatan Mental Di Masa Pandemi Ini

Ketidakpastian situasi, perubahan rutinitas sehari-hari, adanya tekanan keuangan, dan isolasi sosial. Hal-hal itu memungkinkan masyarakat akan mengalami stres, kecemasan, ketakutan, kesedihan, dan kesepian selama pandemi ini melanda. Merasa hal tersebut normal saat berada dalam masa krisis pandemi. Namun kita harus berusaha untuk menjaga pikiran tetap jernih demi kesehatan mental kita. Lantas, langkah-langkah apa yang perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19 ini? Beberapa langkah yang dapat dilakukan diantaranya adalah :


Untuk Remaja

Menyadari bahwa kecemasan yang dirasakan adalah hal yang wajar. Kecemasan adalah fungsi normal dan sehat yang bisa membuat kita waspada terhadap ancaman dan membantu kita untuk mengambil tindakan untuk melindungi diri. Merasa cemas ditengah pandemik COVID-19 memang hal yang benar-benar bisa dimengerti, tapi pastikan untuk menggunakan sumber yang terpercaya ketika mencari informasi.


Cari pengalihan, ketika berada dalam kondisi yang sulit, akan sangat membantu untuk mengenali masalah dalam dua kategori, yaitu hal yang bisa dikendalikan dan hal yang tidak bisa dikendalikan. Saat ini banyak hal yang jatuh pada kategori kedua, dan itu tidak apa-apa. Tapi satu hal yang membantu kita untuk menghadapi situasi tersebut adalah dengan mencari pengalihan kita sendiri. Membaca novel, menonton film, atau memasak adalah hal-hal yang disarankan untuk dilakukan untuk mencari pelampiasan dan menemukan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari.


Temukan cara baru untuk tetap berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman. Jika ingin bersosialisasi ditengah kondisi social distancing, media social adalah solusi yang baik untuk berkomunikasi. Tetapi, jika akses tersebut tanpa batas, hal tersebut tidak sehat dan malah memungkinkan untuk menambah kecemasan. Sehingga aturlah jadwal screen time yang tepat untuk dilakukan.


Fokus pada diri sendiri. Ini adalah saat yang sangat tepat untuk melakukan semua hobi yang sempat tertunda sebelumnya. Focus pada diri sendiri dan cari cara untuk memanfaatkan waktu tambahan yang ada adalah cara yang produktif untuk menjaga kesehatan.

Salami perasaan. Tentu terdapat kekecewaan karena harus ditundanya beberapa agenda karena terjadinya pandemi ini dan cata mengatasinya adalah dengan membiarkan diri merasakan kekecewaan tersebut. Satu-satunya jalan keluar dari hal yang mengecewakan adalah dengan berusaha melaluinya. Lanjutkan hidup dan jika merasa sedih, salami perasaanmu. Jika kita bisa membiarkan diri untuk merasa sedih, akan lebih cepat pula kita merasa lebih baik. Semua orang punya cara berbeda untuk mengolah perasaan dan yang terpenting adalah melakukan hal yang terasa benar bagi kita.


Berbaik hatilah pada diri sendiri dan orang lain. Sekarang, disbanding masa-masa sebelumnya, adalah saat-saat uang paling penting untuk lebih bijaksana dalam memutuskan apa yang akan kita bagikan atau katakan kepada orang lain. (Unicef, 2020)


Untuk Lansia

Warga lansia, terutama yang di isolasi dan yang mengalami penurunan kognitif/demensia bisa semakin resah, marah, tertekan, gelisah, tertutup, terlalu curiga selama wabah/berada di karantina. Beri dukungan emosional melalui jaringan informal (keluarga) dan tenaga kesehatan jiwa. Sampaikan fakta-fakta sederhana tentang yang sedang terjadi dan informasi yang jelas tentang cara mengurangi risiko infeksi dengan bahasa yang dapat dimengerti lansia dengan/tanpa gangguan kognitif. Sampaikan ulang jika perlu.


Saran-saran berikut berlaku secara umum untuk warga lansia di tengah masyarakat. Untuk warga lansia di panti (mis., panti werdha), petugas administrasi dan staf perlu memastikan adanya langkah-langkah keamanan guna mencegah infeksi satu sama lain dan merebaknya kekhawatiran atau panik yang berlebihan (seperti di rumah sakit). Dukungan juga perlu diberikan bagi staf layanan yang terkarantina dalam waktu yang lama bersama warga dan tidak dapat berkumpul dengan keluarga.


Warga lansia lebih rentan terhadap COVID-19 karena sumber informasi yang terbatas, sistem imun yang lebih lemah, dan tingkat kematian COVID-19 yang lebih tinggi di antara kelompok usia lanjut. Beri kelompok-kelompok rentan perhatian lebih, seperti lansia yang hidup sendiri/tanpa keluarga dekat; dari status sosio-ekonomi rendah dan/atau penyandang penyakit lainnya seperti penurunan kognitif/demensia atau kondisi kesehatan jiwa lainnya. Lansia dengan gangguan kognitif ringan atau demensia stadium awal perlu diberi tahu apa yang terjadi sesuai kapasitasnya dan didukung untuk meringankan kekhawatiran dan tekanan. Kebutuhan medis dan keseharian penyandang demensia sedang dan berat perlu dipenuhi selama karantina.

Lansia terisolasi atau terinfeksi harus diberikan informasi yang benar tentang faktor-faktor risiko dan kemungkinan kesembuhan. Selama karantina, sesuaikan layanan rumah perawatan (respite care service) atau perawatan di rumah agar menggunakan teknologi (WeChat, WhatsApp) untuk memberikan pelatihan/konseling bagi pelaku rawat keluarga di rumah, termasuk pertolongan pertama psikologis.


Semangati lansia yang memiliki keahlian, pengalaman dan kekuatan untuk menjadi sukarelawan dalam upaya masyarakat menanggapi wabah COVID-10. Lansia dapat memberikan dukungan, memantau lingkungan, dan menjaga anak-anak untuk petugas yang harus berada di rumah sakit untuk melawan COVID-19. (WHO, 2020)


Untuk Anak-Anak

Dorong mendengar aktif dan sikap pengertian dengan anak-anak. Anak-anak dapat menanggapi situasi sulit/meresahkan dengan cara yang berbeda-beda: menjadi manja kepada pengasuh, gelisah, menyendiri, merasa marah atau resah, mengalami mimpi buruk, mengompol, sering berubah suasana hati, dll. Anak-anak biasanya merasa lega jika dapat mengungkapkan dan mengomunikasikan perasaan tidak nyaman di lingkungan yang aman dan mendukung. Tiap anak memiliki cara mengungkapkan emosinya. Terkadang, melakukan kegiatan kreatif, seperti bermain dan menggambar dapat mempermudah proses ini. Bantulah anak mencari cara positif mengungkapkan perasaan tidak enak seperti amarah, takut dan kesedihan.


Dorong terciptanya lingkungan yang sensitif dan peduli di sekeliling anak- anak. Anak-anak memerlukan kasih sayang orang dewasa dan seringkali perhatian lebih dalam masa-masa sulit. Ingat bahwa emosi anak-anak sering terpengaruh oleh orang-orang dewasa yang penting bagi hidup mereka. Jadi, cara orang dewasa menanggapi krisis ini sangat penting. Orang dewasa perlu mengelola baik emosinya sendiri dan tetap tenang, mendengarkan kekhawatiran anak dan lembut berbicara serta menghibur anak. Jika pantas dan sesuai usia, dorong orang tua/pengasuh untuk memeluk anak-anaknya dan sering mengatakan mereka mengasihi dan bangga akan anak itu hingga anak merasa lebih baik dan aman.


Jika memungkinkan, buat kesempatan bermain dan bersantai bagi anak dan pastikan anak tetap dekat orang tua dan keluarga, jika dirasa aman untuk anak, dan sebisa mungkin jangan pisahkan anak dari pengasuh. Jika anak harus dipisahkan dari pengasuh utamanya, pastikan anak diberi asuhan alternatif dan petugas sosial atau yang setara sering menengok keadaan anak.

Sebisa mungkin tetap jalankan rutinitas dan jadwal yang ada atau bantu membuat aktivitas baru di lingkungan yang baru, seperti belajar, bermain dan bersantai. Jika mungkin, tetap jalankan kegiatan sekolah, belajar atau rutinitas lain yang tidak membahayakan anak-anak atau dilarang dinas kesehatan.


Berikan fakta tentang yang sedang terjadi dan informasi jelas yang sesuai untuk anak-anak tentang cara mengurangi risiko infeksi dan tetap aman dalam bahasa yang dimengerti. Demonstrasikan kepada anak cara menjaga keamanan diri (mis., tunjukkan cara cuci tangan yang efektif.


Jangan berspekulasi tentang rumor atau informasi yang belum pasti di dekat anak-anak. Berikan informasi akurat tentang apa yang telah terjadi atau mungkin terjadi dengan cara yang menenangkan, jujur dan sesuai umurnya.


Dukung orang dewasa/pengasuh dengan kegiatan untuk anak selama isolasi/karantina di rumah. Kegiatan-kegiatan ini sebaiknya menjelaskan tentang virus tetapi juga menjaga agar anak tetap aktif ketika tidak masuk sekolah, seperti: permainan mencuci tangan dengan lag, cerita rekaan tentang penjelajahan virus di dalam tubuh, jadikan pembersihan dan disinfeksi rumah permainan menyenangkan, gambar virus/mikroba yang kemudian diwarnai oleh anak, jelaskan alat perlindungan diri (APD) kepada anak agar mereka tidak takut. (WHO, 2020)


Untuk Petugas Garis Depan

Merasa tertekan adalah pengalaman yang sangat mungkin Anda dan banyak kolega lalui: bahkan, merasa demikian itu normal dalam situasi sekarang. Pekerja mungkin merasa tidak cukup berhasil, merasa banyak tuntutan , dan ada tekanan tambahan seperti harus mengikuti prosedur K3 yang ketat. Tekanan dan perasaan terkait sama sekali bukan cerminan bahwa Anda tidak dapat melakukan tugas atau bahwa Anda lemah, sekalipun Anda merasa demikian. Bahkan, stres bisa berguna. Sekarang ini, perasaan stres mungkin membuat Anda bertahan melakukan tugas Anda dan memberikan rasa memiliki tujuan. Mengelola stres dan kesejahteraan psikososial Anda di waktu sekarang ini sama pentingnya dengan mengelola kesehatan fisik.


Penuhi kebutuhan dasar Anda dan gunakan cara bertahan yang membantu - pastikan ada waktu istirahat selama bekerja atau di antara jadwal, makan makanan yang cukup dan sehat, lakukan kegiatan fisik, dan tetap berhubungan dengan keluarga dan teman. Jangan menggunakan cara lain yang tidak membantu seperti tembakau, alkohol, atau obat-obatan lain yang dalam jangka panjang dapat merusak kesejahteraan mental dan fisik.


Sayangnya, beberapa pekerja mungkin mengalami pengasingan oleh keluarga atau masyarakat karena stigma. Hal ini makin mempersulit situasi. Jika mungkin, tetap terhubung dengan orang-orang terkasih melalui metode digital adalah salah satu cara menjaga kontak. Carilah dukungan sosial dari kolega, manajer atau orang lain yang Anda percayai - kolega Anda mungkin memiliki pengalaman yang serupa dengan Anda.


Bagi banyak petugas, skenario ini mungkin berbeda dan baru pertama kali terjadi, terutama jika belum pernah terlibat dalam upaya respons serupa. Namun, strategi-strategi yang pernah Anda gunakan di masa lalu untuk menghadapi masa-masa berat masih dapat bermanfaat bagi Anda sekarang. Strategi memanfaatkan rasa stres itu sama, meskipun skenarionya berbeda. Kalau stres Anda makin berat dan Anda kewalahan, Anda tidak salah. Semua orang merasakan stres dan mengatasi dengan cara yang berbeda-beda. Tekanan sekarang atau masa lalu dari kehidupan pribadi dapat berdampak pada pekerjaan sehari-hari Anda.


Anda mungkin merasakan cara bekerja Anda berubah, suasana hati berubah misalnya menjadi makin mudah jengkel, merasa terpuruk atau makin resah, Anda mungkin merasa terus-terusan kelelahan atau makin kesulitan bersantai ketika beristirahat, atau mengalami gangguan fisik yang aneh seperti nyeri atau sakit perut. Stres kronis dapat berdampak pada kesejahteraan mental dan pekerjaan Anda dan dapat berdampak bahkan setelah situasi menjadi lebih baik. Kalau stres menjadi terlalu berat, bicaralah pada pimpinan atau orang yang sesuai agar Anda mendapatkan dukungan yang sesuai. (WHO, 2020)


Dapat disimpulkan bahwa merasa sedih, khawatir, bingung, takut atau marah saat krisis adalah hal yang normal. Bicaralah pada orang yang Anda percayai. Hubungi teman dan keluarga.Jika Anda harus tetap tinggal di rumah, jaga gaya hidup sehat (seperti pola makan, tidur, olah raga yang sesuai dan kontak sosial dengan orang-orang terkasih di rumah). Tetaplah berhubungan dengan keluarga dan teman melalui surel, telepon dan penggunaan platform media sosial. Jangan mengonsumsi tembakau, alkohol atau obat-obatan lain untuk mengatasi perasaan Anda. Jika Anda merasa tidak sanggup, hubungilah tenaga kesehatan, tenaga sosial, petugas serupa, atau orang lain yang Anda percayai di komunitas Anda Buatlah rencana, petugas mana yang dituju dan bagaimana cara mencari pertolongan kesehatan fisik dan psikososial jika diperlukan. Dapatkan fakta yang tepat tentang risiko Anda dan cara pencegahan. Gunakan sumber terpercaya sebagai sumber informasi, seperti situs web WHO atau Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan. Kurangi waktu Anda dan keluarga menonton atau mendengarkan liputan berita yang meresahkan, dan gunakan cara-cara yang telah Anda gunakan sebelumnya dalam masa-masa sulit untuk mengelola emosi Anda selama wabah ini.


Menjaga kesehatan mental selama pandemi sangat penting untuk diperhatikan, karena risiko yang kemungkinan terjadi gangguan pada masyarakat begitu besar. Menurut dr. Lahargo, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, mengungkapkan beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menjaga kesehatan mental, yaitu:


1. Batasi Informasi Berita Berlebihan

Masyarakat perlu membatasi diri untuk memperoleh berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena kecemasan, kekhawatiran bisa muncul akibat terlalu banyak menonton, membaca dan mendengar informasi secara berlebihan. Dalam hal ini memberi jarak sejenak untuk tidak mengkonsumsi berita atau informasi yang berlebihan dapat memperbaiki diri secara psikologis. Masyarakat juga perlu memilah informasi dengan memperolehnya dari sumber-sumber resmi dan terpercaya seperti website covid19.go.id, WhatsApp COVID-19, Informasi Pusat Layanan Telepon COVID-19 119, siaran TVRI dan RRI yang juga digandakan melalui media swasta nasional lainnya.


2. Melakukan Hal-hal Positif

Melakukan hal-hal yang positif seperti berolahraga, melakukan aktivitas yang produktif, menjalankan hobi, istirahat yang cukup dan tidak mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat merusak kesehatan. Hal ini dilakukan untuk mengatasi berbagai kondisi perasaan tidak nyaman akibat COVID-19.


3. Hindari Perilaku Buruk

Hindarilah merokok, hindari minum alkohol atau narkoba untuk mengatasi perasaan tidak nyaman karena itu tidak akan menyelesaikan masalah


4. Konsultasi dengan orang professional

Apabila seseorang mengalami stres, perasaan tidak enak, maka disarankan untuk segera berkonsultasi kepada profesional kesehatan jiwa seperti psikiater, perawat jiwa, psikolog, konselor atau dokter. Dalam kondisi seperti saat ini di tengah pandemi COVID-19, masyarakat dapat memanfaatkan layanan konsultasi melalui telemedicine seperti halodoc, alodokter yang dapat diakses dari rumah saja.


5. Kembangkan Keterampilan

Selain itu, untuk menjaga kesehatan jiwa dan mengatasi berbagai emosi, ia juga menyarankan agar masyarakat memanfaatkan berbagai keterampilan yang dimiliki, contohnya dengan melakukan relaksasi dengan menarik napas, melakukan terapi dengan gerakan tertentu sehingga dapat mengembalikan emosional diri.

Ada beberapa cara menjaga kesehatan mental ditengah pandemi COVID-19 diantaranya yaitu:

1) Menjaga pola tidur.

2) Mengkonsumsi makanan sehat.

3) Sharing dan saling mendengarkan.

4) Tetaplah menjaga hubungan dengan orang-orang yang Anda sayangi.

5) Gunakan sumber terpercaya untuk mendapatkan informasi tentang COVID-19.

6) Kurangi waktu Anda dan keluarga menonton, membaca, atau mendengarkan liputan berita yang meresahkan.

7) Jangan mengkonsumsi tembakau, alkohol, atau obat-obatan lain untuk mengatasi perasaan Anda.

8) Tidak perlu panik, cucilah tangan Anda dengan sabun.

9) Disiplinkan diri Anda dan jadilah pelindung kehidupan.

10) Bahagiakan hati dengan membantu orang lain

11) Saling mendoakan, mohon perlindungan kepada Allah sang Pencipta.

12) Jika Anda merasa tidak sanggup, hubungi tenaga kesehatan profesional.



Pandemi COVID-19, begitu meresahkan masyarakat Indonesia bahkan mampu mengganggu kesehatan seseorang, terutama kesehatan mental. Hal ini menjadi perhatian yang penting bagi masyarakat. Masyarakat perlu menjaga kesehatan diri termasuk kesehatan mental karena kesehatan mental juga akan mempengaruhi kondisi tubuh dan pertahanan tubuh seseorang. Pentingnya memperhatikan informasi tetapi tidak berlenihan dan perlu dibaasi, aktifitas fisik dari rumah dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mental. Tentunya masyarakat Indonesia mau bersam-sama mengikuti himbauan Pemerintah Republik Indonesia dalam menlawan COVID-19 agar pandemi ini dapat diselesaikan serta kesehatan, termasuk kesehatan mental dapat terus terjaga.


Recent Posts

See All

Covid-19

Perkembangan Penanganan Covid-19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Virus SARS-CoV-2 telah menyebar ke 68 negara, termasuk Indonesia. Perusahaan farmasi di berbagai...

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page